Sebentar lagi adik saya akan menjadi sarjana S1. Saya jadi teringat
masa-masa awal lulus kuliah. Masa itu adalah periode yang sarat dengan
gengsi. Kami yang lulus bersama berlomba-lomba melamar ke perusahaan
bergengsi. Bagi yang mendapat panggilan kerja dari perusahaan bonafid,
tanpa berkata-kata, setiap gerak-geriknya seperti berkata , "Gue
berhasil nih!" Dan gengsi ini pun terus terbawa hingga kini. Tidak
hanya melulu soal gaji, apa yang kita “punya” juga menjadi satu
indikator status sosial di masyarakat modern saat ini.
Namun apakah gaji yang besar menjamin bahwa kondisi keuangan seseorang itu sehat?
Saya
beberapa kali menemukan kondisi keuangan seseorang atau keluarga yang
kurang sehat. Gaji mereka seakan-akan selalu kurang dan hampir tidak
memiliki tabungan. Apakah mereka orang yang bergaji hanya sedikit di
atas UMP? Bukan. Kebanyakan dari kelompok ini justru adalah orang-orang
yang memiliki akses sangat baik ke lembaga keuangan. Sayangnya kemudahan
akses tersebut seringkali disalahgunakan. Mereka menganggap fasilitas
seperti kartu kredit adalah “dana tambahan”, bukannya sekadar alat bantu
pembayaran. Jika watak ini dikombinasikan dengan sifat konsumtif yang
tinggi, fasilitas tadi mampu membenamkam seseorang ke dalam kolam utang.
Ada
juga kisah pribadi atau keluarga dengan penghasilan cukup, yang mampu
menjadi tuan atas uang yang dia miliki. Keluarga ini memiliki dana
darurat, mampu menyiapkan dana pensiun untuk masa tua, dan siap membayar
uang pangkal dan SPP sekolah anak-anak mereka saat diperlukan.
Kualitas kehidupan seseorang atau keluarga bukan tercermin dari penghasilannya, namun dari pengelolaan keuangannya.
Sebelum
bergerak maju merencanakan keuangan lebih lanjut, ada baiknya Anda
berhenti sejenak dan melakukan review seperti apa kondisi keuangan saat
ini. Salah satu yang bisa digunakan adalah rasio keuangan. Rasio
keuangan bisa dibuat jika terdapat data keuangan seperti laporan net
worth (berisi nilai aset dan utang) serta laporan cashflow (berisi
pendapatan dan pengeluaran keluarga). Kejujuran Anda dalam membuat
laporan net worth dan cashflow adalah kunci keakuratan perhitungan rasio
keuangan. Dengan begitu Anda tahu dari mana harus mulai menata
keuangan.
Rasio keuangan yang pertama adalah debt-service ratio atau rasio pembayaran cicilan utang. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Debt Service Ratio adalah rasio pembayaran cicilan setiap bulannya. Di
bagian total cicilan utang bulanan bisa dimasukkan cicilan KPR, cicilan
kendaraan bermotor, cicilan kartu kredit, dan cicilan lainnya. Kondisi
keuangan dikatakan sehat jika nilainya dibawah 35%.
Contohnya,
Andi saat ini memiliki pendapatan bulanan sebesar Rp5 juta, lalu dia
ambil cicilan motor sebesar Rp1,5 juta per bulan dan ada cicilan kartu
kredit sebesar Rp500 ribu per bulan. Dengan total cicilan sebesar Rp2
juta, berarti debt service ratio Andi adalah sebesar 40%. Bisa dikatakan
Andi kondisi keuangannya kurang sehat.
Rasio keuangan yang kedua adalah saving ratio atau rasio menabung. Rumusnya sebagai berikut:
Saving ratio mengukur potensi menabung yang bisa dilakukan. Tabungan
bulanan maksudnya adalah tabungan rutin bulanan yang sudah rutin
dilakukan, sedangkan sisa cashflow bulanan biasanya adalah surplus
antara pendapatan bulanan dan total pengeluaran bulanan yang mungkin
belum teralokasikan.
Contohnya, Keluarga Danang saat ini
memiliki pendapatan gabungan (suami + istri) sebesar Rp10 juta, tabungan
rutin Rp500 ribu, dan pengeluaran rutin lainnya sebesar Rp8,5j uta
termasuk cicilan utang KPR. Jika dihitung cashflow-nya, terdapat sisa
sebesar Rp1j uta. Berarti keluarga Danang memiliki saving ratio sebesar
15%. Dari pengukuran saving ratio bisa dikatakan kondisi keuangan
keluarga Danang sehat.
Ada beberapa rasio keuangan lainnya selain
dua rasio keuangan di atas, namun dari kedua rasio keuangan tersebut,
Anda bisa membuat acuan untuk mengambil keputusan keuangan. Debt service
ratio bisa kita jadikan patokan untuk berpikir apakah kondisi keuangan
Anda masih sehat jika mengambil kredit atau pinjaman tambahan. Sedangkan
saving ratio bisa dijadikan patokan apakah dengan meningkatnya gaji,
diikuti pula dengan peningkatan rasio uang yang ditabung. Jangan-jangan
kenaikan gaji habis dimakan oleh kenaikan biaya hidup atau peningkatan
lifestyle.
Saya pernah bertemu orang yang bergaji Rp30 juta,
tapi menyisihkan Rp3 juta per bulan saja sulit sekali. Di lain waktu,
saya juga bertemu keluarga muda yang berpenghasilan gabungan Rp12 juta
dan mampu menyisihkan 41% dari gajinya untuk investasi bulanan.
Jadi,
sekarang sudah bukan jamannya lagi bertanya, “Berapa besar gaji lo?”
melainkan “Berapa besar yang bisa disisihkan untuk masa depan?”.
Independent Financial Planner
Quantum Magna Financial
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !